Sabtu, 07 April 2018

ANALISIS KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TIMOR TIMUR


ANALISIS KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
TIMOR TIMUR

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Pendidikan Pancasila
Yang dibina oleh Bapak Dr. Mohammad Yuhdi S.H., M.Hum.
dan Ibu Endrise Septiana Rawanoko S.pd., M.pd



Oleh
Rosita Agus Trisnawati
160211601850


Description: E:\KAMPUS\index.jpg
 





UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
Mei 2017

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
......... 1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
......... 1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 1
......... 1.3 Tujuan Pembahasan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 3
......... 2.1Pengertian Hak Asasi Manusia............................................................................. 3
2.2  Penyebab Terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia....................................... 4
2.3 Analisis Kasus Pelanggaran  Hak Asasi Manusia  Timor Timur.......................... 6
              2.4 Penerapan Hukum................................................................................................ 10
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 12
......... 3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 12
          3.2 Saran.................................................................................................................... 12
DAFTAR RUJUKAN........................................................................................................ 13





BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan:2002:32). Mochtar Kusumaatmadja (2002:12) mengemukakan konsep negara hukum tentu saja dan sekaligus memadukan paham kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum sebagai satu kesatuan. 
Berhubung Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia semenjak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa Hak Asasi Manusia tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga Hak Asasi Manusia itu tidak bias dikurangi (non derogable right). Oleh karena itu, yang diperlukan dari Negara dan hukum adalah suatu pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia tersebut.
Peristiwa kerusuhan atau pembantaian di provinsi Timor-Timur pada tahun 1999 merupakan contoh kasus pelanggaran HAM. Dimana pada waktu itu banyak korban berjatuhan karena rakyat Timor-Timur memilih untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eurico Barros Gomes Guterres pria kelahiran Uatulari, Timor Timur, 17 Juli 1971 atau yang lebih dikenal dengan nama beken Eurico Guterres. Ia seorang milisi pro-Indonesia atau anti-kemerdekaan Timor Timur. Namun, ia dituduh terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor Timur. Selain itu, Guterres merupakan pemimpin milisi utama pada pembantaian pasca referendum tahun 1999 dan penghancuran ibu kota Dili.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Hak Asasi Manusia?
2.      Apa penyebab terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia?
3.      Bagaimana analisis kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur?
4.      Bagaimana penerapan hukum dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur?
1.3  Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pengertian Hak Asasi Manusia.
2.      Untuk mengetahui penyebab terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia.
3.      Untuk mengetahui analisis kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia   Timor Timur.
4.      Untuk mengetahui penerapan hukum dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur.

























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia
Menurut Wiyono (2016:92) Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar yang dimiliki oleh manusia sejak ia dilahirkan (bahkan sejak ia berada dalam kandungan apabila dikelak kemudia hari dilahirkan dalam keadaan hidup), yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian HAM, dapat dipahami sebagai hak-hak dasar yang asli, dan bukan merupakan hak yang diberikan oleh orang lain, masyarakat, pemerintah ataupun negara. Adapun tugas pemerintah atau negara adalah memberikan suatu pengakuan, perlindungan dan penegakkan terhadap pelaksanaan HAM. Hak Asasi Manusia (HAM) antara lain meliputi hak hidup, hak milik, hak medeka, hak berserikat, hak memeluk agama, hak berpendapat, hak yang sama di muka hukum dan pemerintahan dan lain-lain.
Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia untuk menjaga harkat dan martabatnya (Rosyada dkk, 2003:199).
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Jadi, dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanaan. Begitu juga, dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan umum. Oleh karena itu, pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan pemenuhan kewajiban asasi manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara (Khaeruman, 2010:56).
Di era seperti ini banyak kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ada di Indonesia. Baik itu pelanggaran HAM berat maupun ringan. Namun sebenarnya HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Fakih, 2003:54).

2.2  Penyebab Terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia, tentunyaa jada juga faktor yang memengaruhi pelanggran HAM itu pun terjadi. Banyak faktor yang mendorong terjadinya pelanggran tersebut.
a.       Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor dorongan untuk melakukan pelanggaran HAM yang berasal dari dalam diri pelaku pelanggar HAM. Fakor internal diantaranya meliputi :
·         Sikap egois atau lebih mementingkan diri sendiri. Sikap ini akan selalu menuntut haknya untuk dipenuhi sementara kewajibannya sering diabaikan. Orang yang egois akan menghalalkan segala cara agar haknya terpenuhi, meskipun cara tersebut melanggar hak orang lain.
·         Rendahnya kesadaran HAM. Kesadaran akan HAM menyebabkan pelanggar HAM berbuat seenaknyya. Mereka tidak mau tahu akan tindakan yang dilakukannya juga menyimpang terhadap hak asasi manusai dan tidak memikirkan bahwa hak orang asasi orang lain juga harus dihormati. 
·         Sikap tidak toleran. Sikap yang ini akan menimbullkan sikap tidak menghargai dan tidak menghormati atas kedudukan orang lain. Dari sikap tersebut memunculkan dan mendorong untuk melakukan deskriminasi kepada orang lain.


b.      Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri manusia yang mendorong seseorang atau kelompok akan melakukan pelanggaran HAM.  Faktor eksternal diantaranya meliputi :
·         Penyalahgunaan kekuasaan. Dimasyarakat terdapat banyak kekuasaan yang berlaku. Kekuasaan disini tidak hanya menunjuk pada kekuasaan pemerintah, tetapi juga bentuk-bentuk kekuasaan lain yang terdapat di masyarakat. Salah satu contohnya adalah kekuasaan di perusahaan. Para pengusaha yang tidak memperdulikan hak-hak buruhnya jelas melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, setiap penyalahgunaan kekuasaan mendorong timbulnya pelanggaran HAM.
·         Ketidak tegasan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum yang tidak bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran HAM, tentu saja akan mendorong timbulnya pelanggaran HAM lainnya. Penyelesaian kasus pelanggaran yang tidak tuntas akan menjadi pemicu munculnya kasus-kasus lain, para pelaku tidak akan merasa jera, dikarenakan mereka tidak menerima sanksi yang tegas atas perbuatannya itu. Selain hal tersebut, aparat penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang juga merupakan bentuk pelanggaran HAM dan menjadi contoh yang sangat tidak baik, serta dapat mendorong timbulnya pelanggaran HAM yang dilakukan masyarakat pada umumnya.
·         Penyalahgunaan tekonologi. Kemajuan teknologi dapat memberikan pengaruh yang positif, tetapi bisa juga memberikan pengaruh negatif bahkan dapat memicu timbulnya kejahat. Pembaca tentunya pernah mendengar terjadinya kasus penculikan yang berawal dari pertemanan dalam jejaring sosial atau sosial media. Kasus tersebut menjadi bukti apabila kemajuan teknologi tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang sesuai aturan, tentu saja akan menjadi penyebab timbulnya pelanggaran HAM. Selain itu juga, kemajuan teknologi dalam bidang produksi ternyata dapat menimbulkan dampak negatif, misalnya munculnya pencemaran lingkungan yang bisa mengakibatkan terganggunya kesehatan manusia.
·         Kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi, Kesenjangan menggambarkan telah terjadinya ketidak seimbangan yang mencolok didalam kehidupan masyarakat. Biasanya pemicunya adalah tingkat kekayaan atau jabatan yang dimiliki. Apabila hal tersebut dibiarkan, maka akan menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM, misalnya perbudakan, pelecehan, dan sebagainya.

2.3  Analisis Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor Timur
Pada tanggal 27 Januari 1999, pemerintahan B.J Habibie mengambil kebijakan untuk menyelesaikan masalah Timor Timur dengan mengajukan dua opsi. Opsi pertama adalah pemberian otonomi khusus terhadap rakyat Timor Timur, yang berarti tetap menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Opsi kedua adalah menolak otonomi khusus yang berarti tidak lagi menjadi bagian dari wilayah atau provinsi Republik Indonesia.
Tawaan penyelesaian melalui dua opsi menolak atau menerima otonomi itu dituangkan ke dalam suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Portugal, di bawah naungan Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 5 Mei 1999 di New York. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa Pemerintah Indonesia bertanggung jawab terhadap keamanan dan perdamaian di Timor Timur guna memastikan penentuan pendapat bisa dilaksanakan dengan fair dan aman, bebas dari intimidasi, kekerasan, atau campur tangan dari berbagai pihak.
Seiring dengan ditandatanganinya perjanjian New York itu, di Timor Timur muncul berbagai gerakan politik yang mengartikulasikan kehendaknya masing-masing. Di satu sisi ada gerakan yang menolak otonomi khusus yang direpresentasikan oleh Conselho Nacional da Resistencia Timorense (CNRT) dan sisi lain kelompok pro otonomi khusus yang dimotori oleh para pejabat di Pemda Timor Timur, yang mendapat dukungan dari Jakarta, terutama dari TNI dan Polri.
Bentuk gerakan politik pro otonomi ini adalah mengonsolidasikan pemerintah mengumumkan opsi kedua pada 27 Januari 1999, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus pengepungan wilayah Kecamatan Alas, Manufahi di bulan Oktober 1998; Kecamatan Cailako, Bobonaro di bulan Desember 1998; Kecamatan Maubara di bulan Januari 1999 dan Kecamatan Zumalai di bulan Januari 1999. Aksi kekerasan dengan modus pengepungan, pembakaran rumah, dan pembunuhan ini dilakukan oleh satuan-satuan milisi yang didampingi oleh anggota TNI dari Koramil setempat yang juga berasal dari Timor Timur.
Aksi-aksi kekerasan tersebut menyurutkan aksi jalanan yang menuntut referendum guna mengetahui kehendak rakyat. Para penggerak dan orang-orang yang aktif menuntut referendum kemudian menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh satuan-satuan milisi. Namun, setelah 27 Januari, situasi politik di Timor Timur terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu pro-otonomi dan menolak otonomi. Pembelahan politik terlihat dari aktivitas politik yang dijalankan. Satu pihak melakukan konsolidasi melalui CNRT, sedangkan pihak lain melakukan konsolidasi dengan menggerakan satuan-satuan milisi bersenjata mulai dari tingkat provinsi sampai ke kecamatan dengan tujuan memenangkan otonomi.
Satuan-satuan milisi ini terbentuk seiring dengan meningkatnya eskalasi kekerasan di Timor Timur antara bulan November 1998 sampai dengan April 1999. Milisi ini ada yang dikelola dengan nama-nama baru dan ada juga nama-nama lama. Setelah pemerintah mengeluarkan pengumuman akan mengeluarkan dua opsi untuk Timor Timur, satuan-satuan milisi ini menyebar merata di seluruh daerah tingkat II Timor Timu. Penyebaran ini kemudian meluas ketingkat kecamatan menjelang April 1999. Perluasan pengorganisasian milisi ini beriring dengan meluasnya aksi-aksi kekerasan dan mobilisasi masa ke dalam satuan-satuan milisi.
Tindak lanjut perjanjian 5 mei 1999 dan di tengah suasana tegang pro kontra terhadap dua opsi yang ditawarkan Jakarta, pada tanggal 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur melaksanakan jajak pendapat. Hasilnya: 78,5 persen dari peserta jajk pendapat (334.580 pemilih) menolak opsi otonomi khusus, yang berarti memilih lepas dari Republik Indonesia, sedangkan sekitar 21 persen (94.388 pemilih) memilih opsi otonomi khusus, dan 1,8 persen suara (7.985 pemilih) dinyatakan tidak sah.
Segera setelah pengumuman hasil jajak pendapat pada tanggal 4 September 1999 terjadilah pelbagai bentu kekerasan, yaitu pembunuhan, pembumihangusan, penjarahan, serta pengungsian penduduk secara besar-besaran.
Menyikapi pernyataan tersebut, pada tanggal 8 September 1999, Komnas HAM mengeluarkan pernyataan tentang kondisi HAM di Timor Timur pascajajak pendapat. Butir pertama pernyataan itu menyatakan, “bahwa perkembangan kehidupan masyarakat di Timor Timur pada waktu itu telah mencapai kondisi anarki dan tindakan-tindakan terorisme telah dilakkan secara luas, baik oleh perorangan maupun kelompok dengan kesaksian langsung dan pembiaran oleh unsur-unsur aparat keamanan”. Masyarakat nasional ataupun internasional sangat memprihatinkan situasi HAM di Timor Timur, termasuk sangat prihatin dengan situasi para pengungsi di Timor Timur dan Nusa Tenggara Timur.
Komisi HAM PBB di Geneva pada 23-27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai situasi di Timor Timur sebagai tindak lanjut konsultasi di antara anggota komisi atas permintaan Portugal pada 9 September 1999. Pemilihan suara di antara para anggota menghasilkan 28 setuju diadakannya special session, 15 menolak, sedangkan 2 abstain. Indonesia keberatan atas prosedur penyelenggaraannya yang dianggapnya tidak sesuai dengan piagam ECOSOC. Dalam special session itu dikeluarkan Resolusi 1999/S-4/1 yang menuntut Pemerintah Indonesia untuk antara lain:
(1)   Memastikan dalam kerja sama dengan Komnas HAM orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistemastis terhadap HAM diadili.
(2)   Memastikan agar HAM dan hukum kemanusiaan Internasional dihormati sepenuhnya bagi semua orang dalam yurisdiksi atau di bawah kontrol pemerintah Indonesia.
(3)   Menjamin pemulangan sukarela semua pengungsi dan orang-orang yang dipindahkan, termasuk meraka yang telah secara paksa diusir ke tempat-tempat pengungsian di Nusa Tenggara Timur.
(4)   Memastikan akses segera dari badan-badan kemanusiaan (humanitarian agencies) untuk orang-orang yan dipindahkan, baik di Timor Timur maupun Nusa Tenggara Timur dan wilayah teritorial Indonesia lain, dan menjamin keamanan dan gerak bebas petugas Internasional.
(5)   Bekerja sama secara penuh dengan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM dan dengan prosedur khusus Komisis dan melanjutkan kerja sama dengan kantor Komisariat Tinggi HAM PBB di Jakarta.
Setelah itu, resolusi tersebut meminta kepda sekjen PBB untuk menetapkan komisi penyelidik internasional dengan perwakilan yang memadai dari ahli-ahli Asia dan bekerja sama dengan Komnas HAM serta Pelapor Khusus, guna mengumpulkan dan mengomplikasikan informasi secara sistematatis mengenai pelanggaran HAM yang terjadi, dan tindakan-tindakan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional di Timor Timur sejak pengumuman opsi pada tanggal 27 Januari 1999. Komisi itu kemudian memberikan laporan dan hasil kerjanya pada Sekjen PBB sebagai bahan masukan untuk memberikan rekomendasi bagi tindakan-tindakan selanjutnya, dan mengajukan laporan komisi penyelidik internaisonal itu kepada Dewan Kemanan, Sidang Umum, dan Komisi pada sesi ke-56.
Dalam kesempatan itu, pada taggal 23 September 1999, Kepala Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Geneva menyampaikan bahwa ppemerintah Indonesia pada malam sebelumnya telah membantuk komisi pencari fakta untuk mengumpulkan informasi tentang pelanggaran HAM. Komisi itu selanjutnya disebut Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPP-HAM) yang disambut baik oleh special session itu.
Pada tanggal 23 September 1999 Komnas HAM menerbitkan Surat Keputusan Ketua Komnas HAM No.770/TUA/IX/99 tentang Pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Pascajajak Pendapat di Timor Timur yang kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan No.797/TUA/X/99 pada tanggal 22 Oktober 1999. Keputusan ini diambil setelah ada pertimbangan bahwa situasi pelanggaran HAM di Timor Timur Pascajajak pendapat semakin memburuk, serta mengingat UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM dan Putusan Rapat Paripurna Komnas HAM pada 23 September 1999.
2.4  Penerapan Hukum
Dalam kasus pembantaian yang terjadi di kota Dili,melibatkan 3 kelompok yang pro integrasi. Kelompok-kelompok tersebut antara lain, kelompok Aitarak, Pasukan Pejuang Integrasi, dan Pasukan TNI. Latar belakang dari pembantaian tersebut, adalah kerena ketidak setujuan terhadap kelompok yang pro atau yang menginginkan Timor-Timur lepas dari negara Indonesia, sehingga menjadi negara yang merdeka (Marzuki, 2012:110).
Eurico Guterres dalam kedudukannya selaku atasan atau wakil panglima kelompok Pasukan Pejuang Integrasi dan atau atasan/komandan dari kelompok Aitarak dimana Terdakwa sebagai atasan bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran Hak Azasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaannya dan pengendaliannya yang efektif.
Spesifikasi dari kesalahan Eurico adalah bahwa ia tidak melakukan pencegahan ketika salah seorang anggota kelompok itu berpidato dalam sebuah apel akbar peresmian PAM swakarsa, yang isinya:
-          Semua Pimpinan CNRT harus dihabiskan.
-          Bunuh para Pemimpin CNRT.
-          Orang-orang Pro Kemerdekaan harus dibunuh.
-          Bunuh Manuel Viegas Carrascalao.
-          Keluarga Carrascalao harus dibunuh.
-          Bunuh Leandro Isaac, David Dias Ximenes, Manuel Ciegas Carrascalao.
-          Bunuh keluarga Manuel Viegas Carrascalao
Sehingga akibat tidak adanya pencegahan dari Eurico sebagai atasannya. Apa yang mereka katakan dengan segera mereka lakukan, sehingga setelah apel mereka mendatangi dan menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao yang saat itu sedang dihuni oleh 136 (seratus tiga puluh enam) orang pengungsi dan rumah saksi Leandro Issac. Selanjutnya massa tersebut melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang berada di rumah Manuel Viegas Carrascalao dengan menggunakan beberapa jenis senjata yang telah merka bawa. Akibat serangan tersebut beberapa warga yang ada di rumah Manuel Viegas Carrascalao, yaitu :
1.      Raul Dos Santos Cancela.
2.      Alfonso Ribeiro.
3.      Mario Manuel Carrascalao (Minelito).
4.      Rafael da Silva.
5.      Alberto Dos Santos.
6.      Joao Dos Santos.
7.      Antonio Do Soares.
8.      Crisanto Dos Santos.
9.      Cesar Dos Santos.
10.  Agustino B.X. Lay.
11.  Eduardo De Jesus.
12.  Januario Pereira
Semuanya meninggal dunia. Sehingga dalam hal ini Eurico diancam pidana berdasarkan Pasal 7 huruf b jis Pasal 9 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa HAM merupakan pemberian mutlak dari Tuhan yang diberikan kepada manusia yang harus dihargai oleh setiap manusia. Persamaan dan kemerdekaan menimbulkan hak-hak manusia lainnya dan jika persamaan dan kemerdekaan tidak diperoleh manusia, hak-hak asasi lainnya juga tidak akan muncul.
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
3.2 Saran
Untuk mau dihargai Hak asasi diri sendiri, perlu juga menghargai hak asasi orang lain. Tolerasi sangat diperlukan dalam penegakan HAM di Indonesia ini. Agar tidak terjadi lagi pelanggaran HAM baik ringan maupun berat.
           



DAFTAR RUJUKAN
Fakih, M. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisisasi. Jakarta: Pustaka Belajar.
Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa. Yogayakarta: Paradigma.
Khaeruman, B. 2010. Hukum HAM. Jakarta: Personal Press.
Kusumaatmadja, M. 2002. Pengantar Hukum Internasional. Bandung.
Marzuki, S. 2012. Pengadilan HAM di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rosyada, D. dkk. 2003. Pedoman HAM. Jakarta.
Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (Online).(http://www.komisiyudisial.go.id/downlot.php?file=UU%20No%2039%20Thn%201999%20HAM.pdf), dikases pada tanggal 8 Mei 2017.
Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi,                                    
        Tesis,  Disertai, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian
. Edisi
        Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang.
Wiyono, S. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar