ANALISIS KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
TIMOR TIMUR
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA
KULIAH
Pendidikan Pancasila
Yang dibina oleh Bapak Dr.
Mohammad Yuhdi S.H., M.Hum.
dan Ibu Endrise Septiana
Rawanoko S.pd., M.pd
Oleh
Rosita Agus Trisnawati
160211601850
![]() |
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
Mei 2017
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
......... 1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
......... 1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 1
......... 1.3 Tujuan Pembahasan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 3
......... 2.1Pengertian Hak Asasi Manusia............................................................................. 3
2.2 Penyebab
Terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia....................................... 4
2.3 Analisis Kasus
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor Timur.......................... 6
2.4
Penerapan Hukum................................................................................................ 10
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 12
......... 3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 12
3.2 Saran.................................................................................................................... 12
DAFTAR RUJUKAN........................................................................................................ 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai
dengan kodratnya (Kaelan:2002:32). Mochtar Kusumaatmadja (2002:12) mengemukakan
konsep negara hukum tentu saja dan sekaligus memadukan paham kedaulatan rakyat
dengan kedaulatan hukum sebagai satu kesatuan.
Berhubung Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia
semenjak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa
Hak Asasi Manusia tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan hukum, tetapi
semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya,
sehingga Hak Asasi Manusia itu tidak bias dikurangi (non derogable
right). Oleh karena itu, yang diperlukan dari Negara dan hukum adalah suatu
pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia tersebut.
Peristiwa kerusuhan atau pembantaian di provinsi Timor-Timur pada tahun 1999 merupakan
contoh kasus pelanggaran HAM. Dimana
pada waktu itu banyak korban berjatuhan karena rakyat Timor-Timur memilih untuk
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eurico Barros Gomes Guterres pria kelahiran Uatulari, Timor Timur, 17 Juli 1971 atau yang
lebih dikenal dengan nama beken
Eurico Guterres. Ia seorang milisi pro-Indonesia atau anti-kemerdekaan Timor
Timur. Namun, ia dituduh terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor Timur.
Selain itu, Guterres merupakan pemimpin milisi utama pada pembantaian pasca
referendum tahun 1999 dan penghancuran ibu kota Dili.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Hak Asasi Manusia?
2.
Apa penyebab terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia?
3.
Bagaimana analisis kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
di Timor Timur?
4.
Bagaimana penerapan hukum dalam kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia di Timor Timur?
1.3 Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui pengertian Hak Asasi Manusia.
2.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya pelanggaran Hak
Asasi Manusia.
3.
Untuk mengetahui analisis kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia Timor Timur.
4.
Untuk mengetahui penerapan hukum dalam kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Hak Asasi Manusia
Menurut Wiyono (2016:92) Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah hak dasar yang dimiliki oleh manusia sejak ia dilahirkan (bahkan sejak
ia berada dalam kandungan apabila dikelak kemudia hari dilahirkan dalam keadaan
hidup), yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian HAM,
dapat dipahami sebagai hak-hak dasar yang asli, dan bukan merupakan hak yang
diberikan oleh orang lain, masyarakat, pemerintah ataupun negara. Adapun tugas
pemerintah atau negara adalah memberikan suatu pengakuan, perlindungan dan
penegakkan terhadap pelaksanaan HAM. Hak Asasi Manusia (HAM) antara lain
meliputi hak hidup, hak milik, hak medeka, hak berserikat, hak memeluk agama,
hak berpendapat, hak yang sama di muka hukum dan pemerintahan dan lain-lain.
Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai
pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya
peluang bagi manusia untuk menjaga harkat dan martabatnya (Rosyada dkk,
2003:199).
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk
Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Jadi, dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas
dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanaan. Begitu juga, dalam memenuhi
kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan umum. Oleh karena itu,
pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan
pemenuhan kewajiban asasi manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara (Khaeruman, 2010:56).
Di era seperti ini banyak kejadian pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang ada di Indonesia. Baik itu pelanggaran HAM berat maupun
ringan. Namun sebenarnya HAM tidak bisa
dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak
orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang
tidak melindungi atau melanggar HAM (Fakih, 2003:54).
2.2 Penyebab Terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Adanya
pelanggaran Hak Asasi Manusia, tentunyaa jada juga faktor yang memengaruhi
pelanggran HAM itu pun terjadi. Banyak faktor yang mendorong terjadinya
pelanggran tersebut.
a. Faktor
Internal
Faktor internal adalah faktor
dorongan untuk melakukan pelanggaran HAM yang berasal dari dalam diri pelaku
pelanggar HAM. Fakor internal diantaranya meliputi :
·
Sikap egois atau lebih mementingkan diri sendiri.
Sikap ini akan selalu menuntut haknya untuk dipenuhi sementara kewajibannya
sering diabaikan. Orang yang egois akan menghalalkan segala cara agar haknya
terpenuhi, meskipun cara tersebut melanggar hak orang lain.
·
Rendahnya kesadaran HAM. Kesadaran akan HAM
menyebabkan pelanggar HAM berbuat seenaknyya. Mereka tidak mau tahu akan
tindakan yang dilakukannya juga menyimpang terhadap hak asasi manusai dan tidak
memikirkan bahwa hak orang asasi orang lain juga harus dihormati.
·
Sikap tidak toleran. Sikap yang ini akan menimbullkan
sikap tidak menghargai dan tidak menghormati atas kedudukan orang lain. Dari
sikap tersebut memunculkan dan mendorong untuk melakukan deskriminasi kepada
orang lain.
b. Faktor
Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang
berasal dari luar diri manusia yang mendorong seseorang atau kelompok akan
melakukan pelanggaran HAM. Faktor
eksternal diantaranya meliputi :
·
Penyalahgunaan kekuasaan. Dimasyarakat terdapat banyak
kekuasaan yang berlaku. Kekuasaan disini tidak hanya menunjuk pada kekuasaan
pemerintah, tetapi juga bentuk-bentuk kekuasaan lain yang terdapat di
masyarakat. Salah satu contohnya adalah kekuasaan di perusahaan. Para pengusaha
yang tidak memperdulikan hak-hak buruhnya jelas melanggar hak asasi manusia.
Oleh karena itu, setiap penyalahgunaan kekuasaan mendorong timbulnya
pelanggaran HAM.
·
Ketidak tegasan aparat penegak hukum. Aparat penegak
hukum yang tidak bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran HAM, tentu saja
akan mendorong timbulnya pelanggaran HAM lainnya. Penyelesaian kasus
pelanggaran yang tidak tuntas akan menjadi pemicu munculnya kasus-kasus lain,
para pelaku tidak akan merasa jera, dikarenakan mereka tidak menerima sanksi
yang tegas atas perbuatannya itu. Selain hal tersebut, aparat penegak hukum
yang bertindak sewenang-wenang juga merupakan bentuk pelanggaran HAM dan
menjadi contoh yang sangat tidak baik, serta dapat mendorong timbulnya
pelanggaran HAM yang dilakukan masyarakat pada umumnya.
·
Penyalahgunaan tekonologi. Kemajuan teknologi dapat
memberikan pengaruh yang positif, tetapi bisa juga memberikan pengaruh negatif
bahkan dapat memicu timbulnya kejahat. Pembaca tentunya pernah mendengar
terjadinya kasus penculikan yang berawal dari pertemanan dalam jejaring sosial
atau sosial media. Kasus tersebut menjadi bukti apabila kemajuan teknologi
tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang sesuai aturan, tentu saja akan menjadi
penyebab timbulnya pelanggaran HAM. Selain itu juga, kemajuan teknologi dalam
bidang produksi ternyata dapat menimbulkan dampak negatif, misalnya munculnya
pencemaran lingkungan yang bisa mengakibatkan terganggunya kesehatan manusia.
·
Kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi,
Kesenjangan menggambarkan telah terjadinya ketidak seimbangan yang mencolok
didalam kehidupan masyarakat. Biasanya pemicunya adalah tingkat kekayaan atau
jabatan yang dimiliki. Apabila hal tersebut dibiarkan, maka akan menimbulkan
terjadinya pelanggaran HAM, misalnya perbudakan, pelecehan, dan sebagainya.
2.3 Analisis Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor
Timur
Pada
tanggal 27 Januari 1999, pemerintahan B.J Habibie mengambil kebijakan untuk
menyelesaikan masalah Timor Timur dengan mengajukan dua opsi. Opsi pertama
adalah pemberian otonomi khusus terhadap rakyat Timor Timur, yang berarti tetap
menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Opsi kedua adalah menolak
otonomi khusus yang berarti tidak lagi menjadi bagian dari wilayah atau
provinsi Republik Indonesia.
Tawaan
penyelesaian melalui dua opsi menolak atau menerima otonomi itu dituangkan ke
dalam suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Portugal, di bawah
naungan Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 5 Mei 1999 di New York. Dalam
perjanjian ini disepakati bahwa Pemerintah Indonesia bertanggung jawab terhadap
keamanan dan perdamaian di Timor Timur guna memastikan penentuan pendapat bisa
dilaksanakan dengan fair dan aman,
bebas dari intimidasi, kekerasan, atau campur tangan dari berbagai pihak.
Seiring
dengan ditandatanganinya perjanjian New York itu, di Timor Timur muncul
berbagai gerakan politik yang mengartikulasikan kehendaknya masing-masing. Di
satu sisi ada gerakan yang menolak otonomi khusus yang direpresentasikan oleh
Conselho Nacional da Resistencia Timorense (CNRT) dan sisi lain kelompok pro
otonomi khusus yang dimotori oleh para pejabat di Pemda Timor Timur, yang
mendapat dukungan dari Jakarta, terutama dari TNI dan Polri.
Bentuk
gerakan politik pro otonomi ini adalah mengonsolidasikan pemerintah mengumumkan
opsi kedua pada 27 Januari 1999, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus
pengepungan wilayah Kecamatan Alas, Manufahi di bulan Oktober 1998; Kecamatan
Cailako, Bobonaro di bulan Desember 1998; Kecamatan Maubara di bulan Januari
1999 dan Kecamatan Zumalai di bulan Januari 1999. Aksi kekerasan dengan modus
pengepungan, pembakaran rumah, dan pembunuhan ini dilakukan oleh satuan-satuan
milisi yang didampingi oleh anggota TNI dari Koramil setempat yang juga berasal
dari Timor Timur.
Aksi-aksi
kekerasan tersebut menyurutkan aksi jalanan yang menuntut referendum guna
mengetahui kehendak rakyat. Para penggerak dan orang-orang yang aktif menuntut
referendum kemudian menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh satuan-satuan
milisi. Namun, setelah 27 Januari, situasi politik di Timor Timur terbelah
menjadi dua kubu, yaitu kubu pro-otonomi dan menolak otonomi. Pembelahan
politik terlihat dari aktivitas politik yang dijalankan. Satu pihak melakukan
konsolidasi melalui CNRT, sedangkan pihak lain melakukan konsolidasi dengan
menggerakan satuan-satuan milisi bersenjata mulai dari tingkat provinsi sampai
ke kecamatan dengan tujuan memenangkan otonomi.
Satuan-satuan
milisi ini terbentuk seiring dengan meningkatnya eskalasi kekerasan di Timor
Timur antara bulan November 1998 sampai dengan April 1999. Milisi ini ada yang
dikelola dengan nama-nama baru dan ada juga nama-nama lama. Setelah pemerintah
mengeluarkan pengumuman akan mengeluarkan dua opsi untuk Timor Timur,
satuan-satuan milisi ini menyebar merata di seluruh daerah tingkat II Timor
Timu. Penyebaran ini kemudian meluas ketingkat kecamatan menjelang April 1999.
Perluasan pengorganisasian milisi ini beriring dengan meluasnya aksi-aksi
kekerasan dan mobilisasi masa ke dalam satuan-satuan milisi.
Tindak
lanjut perjanjian 5 mei 1999 dan di tengah suasana tegang pro kontra terhadap
dua opsi yang ditawarkan Jakarta, pada tanggal 30 Agustus 1999, rakyat Timor
Timur melaksanakan jajak pendapat. Hasilnya: 78,5 persen dari peserta jajk
pendapat (334.580 pemilih) menolak opsi otonomi khusus, yang berarti memilih
lepas dari Republik Indonesia, sedangkan sekitar 21 persen (94.388 pemilih)
memilih opsi otonomi khusus, dan 1,8 persen suara (7.985 pemilih) dinyatakan
tidak sah.
Segera
setelah pengumuman hasil jajak pendapat pada tanggal 4 September 1999
terjadilah pelbagai bentu kekerasan, yaitu pembunuhan, pembumihangusan, penjarahan,
serta pengungsian penduduk secara besar-besaran.
Menyikapi
pernyataan tersebut, pada tanggal 8 September 1999, Komnas HAM mengeluarkan
pernyataan tentang kondisi HAM di Timor Timur pascajajak pendapat. Butir
pertama pernyataan itu menyatakan, “bahwa perkembangan kehidupan masyarakat di
Timor Timur pada waktu itu telah mencapai kondisi anarki dan tindakan-tindakan
terorisme telah dilakkan secara luas, baik oleh perorangan maupun kelompok
dengan kesaksian langsung dan pembiaran oleh unsur-unsur aparat keamanan”.
Masyarakat nasional ataupun internasional sangat memprihatinkan situasi HAM di
Timor Timur, termasuk sangat prihatin dengan situasi para pengungsi di Timor
Timur dan Nusa Tenggara Timur.
Komisi
HAM PBB di Geneva pada 23-27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai situasi di
Timor Timur sebagai tindak lanjut konsultasi di antara anggota komisi atas
permintaan Portugal pada 9 September 1999. Pemilihan suara di antara para
anggota menghasilkan 28 setuju diadakannya special
session, 15 menolak, sedangkan 2 abstain. Indonesia keberatan atas prosedur
penyelenggaraannya yang dianggapnya tidak sesuai dengan piagam ECOSOC. Dalam special session itu dikeluarkan Resolusi
1999/S-4/1 yang menuntut Pemerintah Indonesia untuk antara lain:
(1) Memastikan
dalam kerja sama dengan Komnas HAM orang-orang yang bertanggung jawab atas
tindak kekerasan dan pelanggaran sistemastis terhadap HAM diadili.
(2) Memastikan
agar HAM dan hukum kemanusiaan Internasional dihormati sepenuhnya bagi semua
orang dalam yurisdiksi atau di bawah kontrol pemerintah Indonesia.
(3) Menjamin
pemulangan sukarela semua pengungsi dan orang-orang yang dipindahkan, termasuk
meraka yang telah secara paksa diusir ke tempat-tempat pengungsian di Nusa
Tenggara Timur.
(4) Memastikan
akses segera dari badan-badan kemanusiaan (humanitarian
agencies) untuk orang-orang yan dipindahkan, baik di Timor Timur maupun
Nusa Tenggara Timur dan wilayah teritorial Indonesia lain, dan menjamin
keamanan dan gerak bebas petugas Internasional.
(5) Bekerja
sama secara penuh dengan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM dan dengan prosedur
khusus Komisis dan melanjutkan kerja sama dengan kantor Komisariat Tinggi HAM
PBB di Jakarta.
Setelah itu, resolusi tersebut meminta
kepda sekjen PBB untuk menetapkan komisi penyelidik internasional dengan
perwakilan yang memadai dari ahli-ahli Asia dan bekerja sama dengan Komnas HAM
serta Pelapor Khusus, guna mengumpulkan dan mengomplikasikan informasi secara
sistematatis mengenai pelanggaran HAM yang terjadi, dan tindakan-tindakan
pelanggaran hukum kemanusiaan internasional di Timor Timur sejak pengumuman
opsi pada tanggal 27 Januari 1999. Komisi itu kemudian memberikan laporan dan
hasil kerjanya pada Sekjen PBB sebagai bahan masukan untuk memberikan
rekomendasi bagi tindakan-tindakan selanjutnya, dan mengajukan laporan komisi
penyelidik internaisonal itu kepada Dewan Kemanan, Sidang Umum, dan Komisi pada
sesi ke-56.
Dalam kesempatan itu, pada taggal 23
September 1999, Kepala Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Geneva
menyampaikan bahwa ppemerintah Indonesia pada malam sebelumnya telah membantuk
komisi pencari fakta untuk mengumpulkan informasi tentang pelanggaran HAM.
Komisi itu selanjutnya disebut Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur
(KPP-HAM) yang disambut baik oleh special
session itu.
Pada tanggal 23 September 1999 Komnas
HAM menerbitkan Surat Keputusan Ketua Komnas HAM No.770/TUA/IX/99 tentang
Pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Pascajajak Pendapat di Timor
Timur yang kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan No.797/TUA/X/99 pada
tanggal 22 Oktober 1999. Keputusan ini diambil setelah ada pertimbangan bahwa
situasi pelanggaran HAM di Timor Timur Pascajajak pendapat semakin memburuk,
serta mengingat UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Perpu No. 1 Tahun 1999
tentang Pengadilan HAM dan Putusan Rapat Paripurna Komnas HAM pada 23 September
1999.
2.4 Penerapan Hukum
Dalam kasus pembantaian yang terjadi di kota Dili,melibatkan 3 kelompok
yang pro integrasi. Kelompok-kelompok tersebut antara lain, kelompok Aitarak,
Pasukan Pejuang Integrasi, dan Pasukan TNI. Latar belakang dari pembantaian
tersebut, adalah kerena ketidak setujuan terhadap kelompok yang pro atau yang
menginginkan Timor-Timur lepas dari negara Indonesia, sehingga menjadi negara
yang merdeka (Marzuki, 2012:110).
Eurico Guterres dalam kedudukannya selaku atasan atau wakil panglima
kelompok Pasukan Pejuang Integrasi dan atau atasan/komandan dari kelompok
Aitarak dimana Terdakwa sebagai atasan bertanggung jawab secara pidana terhadap
pelanggaran Hak Azasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang
berada di bawah kekuasaannya dan pengendaliannya yang efektif.
Spesifikasi dari kesalahan Eurico adalah bahwa ia tidak melakukan
pencegahan ketika salah seorang anggota kelompok itu berpidato dalam sebuah
apel akbar peresmian PAM swakarsa, yang isinya:
-
Semua Pimpinan
CNRT harus dihabiskan.
-
Bunuh para
Pemimpin CNRT.
-
Orang-orang
Pro Kemerdekaan harus dibunuh.
-
Bunuh Manuel
Viegas Carrascalao.
-
Keluarga
Carrascalao harus dibunuh.
-
Bunuh
Leandro Isaac, David Dias Ximenes, Manuel Ciegas Carrascalao.
-
Bunuh keluarga
Manuel Viegas Carrascalao
Sehingga akibat tidak adanya
pencegahan dari Eurico sebagai atasannya. Apa yang mereka katakan dengan segera mereka lakukan, sehingga setelah apel
mereka mendatangi dan menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao yang saat itu
sedang dihuni oleh 136 (seratus tiga puluh enam) orang pengungsi dan rumah
saksi Leandro Issac. Selanjutnya massa tersebut melakukan penyerangan dan
pembunuhan terhadap orang-orang yang berada di rumah Manuel Viegas Carrascalao
dengan menggunakan beberapa jenis senjata yang telah merka bawa. Akibat
serangan tersebut beberapa warga yang ada di rumah Manuel Viegas Carrascalao,
yaitu :
1.
Raul Dos
Santos Cancela.
2. Alfonso Ribeiro.
3. Mario Manuel Carrascalao (Minelito).
4. Rafael da Silva.
5. Alberto Dos Santos.
6. Joao Dos Santos.
7. Antonio Do Soares.
8. Crisanto Dos Santos.
9. Cesar Dos Santos.
10. Agustino B.X. Lay.
11. Eduardo De Jesus.
12. Januario Pereira
Semuanya meninggal dunia.
Sehingga dalam hal ini Eurico diancam pidana berdasarkan Pasal 7 huruf b jis
Pasal 9 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan Pasal 37 Undang-Undang No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari penjelasan makalah di atas, dapat disimpulkan
bahwa HAM merupakan pemberian mutlak dari Tuhan yang diberikan kepada manusia
yang harus dihargai oleh setiap manusia. Persamaan dan kemerdekaan menimbulkan
hak-hak manusia lainnya dan jika persamaan dan kemerdekaan tidak diperoleh
manusia, hak-hak asasi lainnya juga tidak akan muncul.
Dalam kehidupan
bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap
bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu
instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM,
pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
3.2 Saran
Untuk mau dihargai
Hak asasi diri sendiri, perlu juga menghargai hak asasi orang lain. Tolerasi
sangat diperlukan dalam penegakan HAM di Indonesia ini. Agar tidak terjadi lagi
pelanggaran HAM baik ringan maupun berat.
DAFTAR
RUJUKAN
Fakih, M. 2003. Runtuhnya
Teori Pembangunan dan Globalisisasi. Jakarta: Pustaka Belajar.
Kaelan. 2002. Filsafat
Pancasila Pandangan Hidup Bangsa. Yogayakarta: Paradigma.
Khaeruman, B. 2010. Hukum HAM. Jakarta: Personal Press.
Kusumaatmadja, M. 2002. Pengantar Hukum Internasional. Bandung.
Marzuki, S. 2012. Pengadilan HAM di Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Rosyada, D. dkk. 2003. Pedoman HAM. Jakarta.
Undang-Undang
(UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (Online).(http://www.komisiyudisial.go.id/downlot.php?file=UU%20No%2039%20Thn%201999%20HAM.pdf), dikases
pada tanggal 8 Mei 2017.
Universitas
Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah: Skripsi,
Tesis, Disertai, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi
Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang.
Tesis, Disertai, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi
Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang.
Wiyono, S. Reaktualisasi
Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Malang: Universitas
Wisnuwardhana Malang Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar